Waktu terus berjalan, 75 tahun sudah usia kemerdekaan RI. Selama itu pula, spirit kemerdekaan menyelinap di setiap sektor kehidupan, termasuk pangan. Seperti apa hakekat kemerdekaan di sektor pangan, selalu menjadi pertanyaan menarik yang tak pernah selesai untuk diperbincangkan.
Topik itu juga yang menjadi pokok perbincangan katakini.com dengan Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya, Arief Prasetyo Adi, di Gedung Food Station, Jakarta Timur, Senin (17/8/2020). Pandangan-pandangan cerdas mengalir dari narasi sang dirut. Tak hanya DKI, Arief juga mengaitkan pandangannya dengan skala pangan nasional. Bahkan, dia pun menguraikan dahsyatnya kedaulatan pangan bagi negeri ini.
Berikut kutipan perbincangannya:
Bagaimana 75 tahun Kemerdekaan RI tecermin dalam bidang pangan?
Kemerdekaan pangan sebenarnya pada saat nanti si petani, peternak, merasa merdeka. si pedaganng merasa merdeka, si konsumen, masyarakat banyak merasa merdeka, dan itu harusnya bisa terjadi. Maksudnya merdeka seperti apa, merdeka itu kalau petani, peternak, sudah punya kesejahteraan yang cukup. Mau cari pupuk, mudah. Mau cari bibit yang baik, mudah. Bekerja, menanam, panen, nanti dijual dengan harga yang baik. Punya pasar yang sudah pasti, harganya tidak jatuh. Itu memerdekakan petani, peternak, saudara-saudara kita yang lebih dari 70 persen tinggal di pedesaan sebagai petani dan nelayan.
Yang kedua, bagaimana membentuk iklim berusaha, dimana pengusaha merasa bisa bekerja dijamin, tidak diganggu, tetapi disupport. Karena suka nggak suka, pengusaha ini yang menjadi avalist (panjamin) dari kegiatan petani sehingga produksi pangannya terserap, dan bisa sampai ke masyarakat. Contohnya, kalau pengusaha kecil ada KUR, dari bunga 7 % ke 6 %, itu sudah benar. Lalu, kita jaga BUMN, Himbara supaya NPLnya tidak tinggi. Artinya performing loannya bisa dikembalikan.
Kemudian, memasukkan teknologi panen, pascapanen. Kalau beras, ya ada penggilingan padi yang baik. Revitalisasi. Kemudian, ada kepastian bahan pangan sampai ke masyarakat banyak, sampai titik distribusi sehingga nanti harga bisa stabil, pemerintah juga bisa dapat poin berhasil mengendalikan inflasi. Inflasi harus ada karena di situ salah satu ciri khas adanya pembangunan adalah adanya inflasi. Hanya inflasi harus dikontrol karena berapa pun perkembangan atau pertumbuhan ekonomi harus diimbangi dengan terjaganya inflasi. Apalagi di tiga bulan terakhir, kita minus 5,23 persen secara nasional. Artinya dengan inflasi yang terjaga, minimal masyarakat terbantu.
Nah bicara konteks kemerdekaan, merdekanya ya merdeka di semua lini tadi. Cari pupuk gampang, cari beras harganya baik, kualitasnya baik. Nah itu tidak terlepas dari pemerintah sebagai regulator, dan tidak bisa sendiri, harus melibatkan seluruh stakeholder, mulai dari hulu sampai dengan hilir.
Menurut Anda apakah kemerdekaan pangan sudah terjadi?
Hari ini, kita semua on process (berproses) untuk menuju ke sana. Kalau kita lihat ketahanan pangan mulai dialihkan menjadi kedaulatan pangan. Kalau ketahahan itu, asal kita ada barang, itu tahan. Kalau kedaulatan, itu artinya kita berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Itu namanya berdaulat. Nah itu untuk menjadi berdaulat, yang dirintis hari ini, untuk Food Station, kita bekerja sama dengan sentra-sentra produksi dengan contrack farming, kemudian dengan peternak, menanam padi, beras, jagung di beberapa sentra produksi, misalnya di Konawe Selatan. Itu bentuk kita dalam menjaga kedaulatan pangan. Jadi mulai dari produksi, lalu post harvest (pascapanen), sampai dengan bisa dinikmati oleh warga Jakarta. Itu namanya kedaulatan pangan, dan kita concern di sana.
Apakah ketahanan dan kedaulatan pangan bisa dicapai secara simultan?
Bisa. Kalau berdaulat, sudah pasti tahan.Kalau tahan belum tentu berdaulat. Kalau tahan, kita bisa impor, bisa dari sumber mana pun. itu tahan. Kalau makanan orang-orang Indonesia, lebih dari delapan puluh persen adalah beras, kemudian kita tidak berdaulat, sedangkan kita mengklaim sebagai negara agraris, berarti ada yang harus kita kerjakan lebih keras lagi hari ini.
Apa itu ?
Mempersiapkan kedaulatan pangan. Jadi harus mapping kembali produksi, misalnya beras dan produksi gabah, dilakukan mapping.Kemudian dibuat infrastrukturnya, disiapkan uborampinya, saprodi (sarana produksi) nya.Proses-proses berikutnya tidak boleh sepotong-sepotong. Jadi harus terintegrasi dari hulu sampai hilir. Kemudian, dari beberapa perjalanan ini, hilangkan ego sektoral antar kementerian, antar lembaga, antar kepala daerah. ego sektoralnya harus diturunkan untuk national goals.
Apa saja yang perlu dipetakan dalam mapping produksi tersebut?
Lokasi, daerah mana menghasilkan apa, berapa banyak, lalu fasilitasnya apa, dan akan jadi berapa. Lalu air, debit airnya seperti apa, satu tahun proyeksinya akan hujan berapa kali. Kemudian airnya ditampung dimana, kalau sudah ditampung dikirim ke irigasi mana. Irigasinya sudah sampai tersier atau belum. Sawahnya bisa dairi setahu sekali, atau dua kali, atau tiga kali, atau sepanjang tahun. Bibitnya pakai yang seperti apa, setiap daerah berbeda. Yang satu tahan wereng, yang satu tahan dingin, yang satu tahan air laut. Nah itu harus di-mapping. Jadi tidak bisa gebyah uyah (pukul rata), satu bibit yang sama dipakai di seluruh wilayah Indonesia.
Apakah kita punya tenaga profesional yang bisa melakukan itu?
Kita punya kok tenaga-tenaga ahli, akademisi. Nah bersatunya akademisi, umaro, ulama sama umat, kalau itu terjadi, pasti percepatannya lebih luar biasa.
Apakah ada skala tegas, yang bisa mendorong ketahanan menjadi kedaulatan pangan?
Analoginya, kalau kita punya anak, apakah bisa bayi baru lahir langsung lari. Ada proses yang harus dilalui, dan kita harus punya road map. Kalau Pak Gubernur (Anies Baswedan) menyampaikan, segala sesuatu harus ada gagasannya. misalnya, gagasannya kedaulatan pangan. Lalu, narasinya dibuat, bahwa kedaulatan pangan itu kalau kita bisa berdiri di atas kaki kita sendiri. Kita bisa memproduksi, dan menghitung neraca pangannya. Misalnya, kita butuh beras sekian ton. Lalu kita breakdown, di semester pertama, daerah mana yang akan panen. Semester kedua, daerah mana. panen di antaranya, dimana. Pakai alat dan mesin pertanian (alsintan) atau tidak. Alsintannya seperti apa, bibitnya seperti apa, distribusi pupuknya seperti apa. Itu kalau mau didetilkan.
Menurut Anda, saat ini tahapan kedaulatan pangan itu sudah dieksekusi?
Itu harus. Ketika Pak Kemenhan diundang Pak Jokowi untuk memimpin sektor pangan, itu artinya sudah ada concern pemerintahpusat untuk melakukan kedaulatan pangan. Kalau hari ini, kita ingin bukan cuma tahan, tapi berdaulat. Makanya ada Merauke, makanya ada Proyek Kalimantan Tengah (food estate). Makanya di atas lahan gambut disetting sedemikian rupa, supaya bisa produktif. Makanya PTPN diminta menyiapkan lahan. Makanya RNI diminta sebagai ledaing di BUMN pangan.
Kemerdekaan pangan identik dengan kedaulatan atau ketahanan pangan?
Kalau ngasih target yang bagus dong, ngapain tanggung-tanggung. Harus berdaulat. Kita bangsa yang pemberani, kita bangsa yang siap menerima tantangan, menjawab arti kemerdekan, kita fight.Itu bukan untuk kita tapi untuk bangsa dan anak-cucu kita. Jadi, yang kita nikmati hari ini adalah tamanan yang ditanam oleh para sesepuh kita. Hutan masih ada karena sudah given, dari dulu sudah seperti itu. Kopi yang ada hari ini, karena zaman dulu, mereka sudah menanam. Apakah sekarang kita sudah menanam kopi lagi, apa kita sudah menanam jati lagi, apakah kita bisa memperbaru sumber resourches yang bisa diperbarui, apakah kita hanya bergantung kepada sumber energi fosil saja, apakah nanti mesin-mesin padi kita mau tetap sepert ini atau diubah menjadi skala besar, apakah industri pangan di Indonesia sudah baik, apakah pengolahan beras di Indonesia sudah benar, apakah logistik kita dari Sabang sampai Merauke sudah benar, apakah harga padi di Papua dengan di Jawa, sama. Itu kan pokok-pokok pemikiran yang perlu di-breakdown satu-satu dan diselesaikan.
Menurut Anda, apakah jarak Indonesia dengan krisis pangan sudah dekat?
Kita harus punya neraca pangan. Kebutuhan versus ketersediaan. Jadi harusnya ada satu informasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Seberapa besar kontribusi pangan terhadap ekonomi di era pandemi?
Pangan tidak bisa dipisahkan dengan semua kegiatan yang ada di dunia. Saat ini semua orang concern di pandemi covid-19, protokol kesehatan. kira-kira kalau makanannnya tidak baik, bisa sehat. Lalu cuci tangan, social distancing, tapi tidak makanapakah bisa sehat. Jadi, apapun yang dilakukan hari ini, pangan itu akan terus menjadi penting dan sangat penting. Mau ada pandemi, tidak ada pandemi, mau ke depan kondisi normal, pangan itu setiap hari dibutuhkan. Makanya isu pangan tidak boleh dipolitisir. Pangan itu kebutuhan yang sangat mendasar, jauh di atas yang lain. Makanya, bagaimana kita mempersiapkan pangan yang sehat, pangan yang berdaulat, pangan yang bisa diurut produksinya (kapan, dimana, oleh siapa), ke depan menjadi tuntutan kita bersama.
Yang kita bicarakan di sini adalah pangan yang berkualitas, bukan sembarang pangan. Kemudian orang bisa mengukur, kenapa harus makan. Hari ini, kita baru bicara ketersediaan, belum pemenuhan gizi. Harusnya itu secara simultan bisa dikerjakan, yakni satu, pemenuhan gizi dan mengurangi angka stanting. Nomor dua, bisa mengurangi hunger global indeks (angka kelaparan). Yang ketiga, mengentaskan kemiskinan. Itu semuanya pangan. Jadi sebenarnya, satu kali nendang bola, impactnya bisa sekian banyak, termasuk percepatan dan pertumbuhan ekonomi. Negara kita 70 persennya agraris. Kalau yang 70 persen itu digelindingkan, seharusnya cepat pertumbuhan ekonominya. Menurut saya, itu bisa dikerjakan secara masif dengan mempersiapkan one big data. Kita harus punya one big data mengenai pangan. Kita perlu pula pemutakhiran data.