Selama 2 tahun terakhir, tantangan fluktuasi pangan turut menerpa Indonesia. Tak bisa dipungkiri, gejala ini turut menerpa secara global. Dampak fenomena El Nino berimbas pada kenaikan faktor biaya agroinput bagi kalangan produsen tanaman pangan. Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menyikapinya dengan melaksanakan berbagai strategi regulasi dan aksi nyata intervensi pasokan ke pasaran yang bersumber dari stok Cadangan Pangan Pemerintah (CPP).
Untuk diketahui, jika melihat historis data grafik pada The Food and Agriculture Organization (FAO) All Rice Price Index (FARPI) dapat terlihat perkembangan harga beras dunia sampai tahun ini mengalami pergerakan yang menanjak. Pada Agustus 2022, indeks FARPI masih berada di angka 108,5 dan di Agustus tahun ini menjadi 134,02.
“Kami di Badan Pangan Nasional sepakat kalau penyaluran CPP untuk program intervensi pangan, sebaiknya berasal dari produksi dalam negeri. Sempat disebut importasi beras tinggi setelah ada Badan Pangan Nasional, namun bukan begitu. Setelah kami hitung ketersediaan dikaitkan dengan produksi yang ada, namun karena climate change dan lainnya, hanya ada lebih sekitar 500 ribu ton. Dari itu terpaksa diperlukan tambahan pengadaan,” jelas Kepala NFA Arief Prasetyo Adi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IV DPR RI di Jakarta, Kamis (12/9/2024).
“Namun sebenarnya itu menyedihkan buat kita. Ini karena kita sangat menginginkan dampak ekonominya kembali ke Indonesia, tidak lagi di Vietnam atau Thailand. Namun ada titik cerah dari anggaran Kementan yang dari Rp 7,9 Triliun menjadi Rp 29 Triliun, ini kita harusnya bisa berharap banyak. Semoga nanti produksi beras nasional minimal bisa setara 35 juta ton. Ini juga menjelaskan kepada publik bahwa ketersediaan itu paling baik adalah produksi dalam negeri,” sambungnya.
Terkait itu, kebijakan pengadaan luar negeri yang selama ini telah diimplementasikan tidak memberi dampak negatif kepada petani tanaman pangan dalam negeri. Ini salah satunya dapat dipantau dari pergerakan Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP). Selama ini, pemerintah secara konsisten mampu menjaga NTPP selalu melebihi dari 100 poin sejak Oktober 2022.
Di samping itu, indeks harga yang diterima petani padi terhadap indeks harga yang dibayar petani pun terus diupayakan mengalami surplus. Secara tahunan, pada 2023, indeks harga yang diterima petani padi tercatat 127,26 dan ini lebih tinggi dibandingkan indeks harga yang dibayar petani di 117,31. Terbaru, indeks harga yang diterima petani padi di Agustus 2024 berada di 136,42. Sementara indeks harga yang dibayar petani di 121,09. Adapun harga yang dibayar petani sendiri merupakan rerata harga eceran barang/jasa yang dikonsumsi atau dibeli petani baik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun untuk keperluan biaya produksi pertanian.
Lebih lanjut, Kepala NFA Arief Prasetyo Adi mendorong adanya akselerasi produksi pangan dalam negeri. “Begitu nanti anggaran Rp 29 Triliun tadi diimplementasikan dan dikerjakan, artinya produksi dalam negeri akan meninggi. Nah kita perlu BUMN pangan untuk menyerapnya, sehingga teknologi pasca panen harus siap. Kami telah meminta Bulog untuk siapkan dryer. Jadi bisa terwujud keseimbangan antara produksi sampai processing dan warehouse yang ada di Bulog sampai hilirisasinya,” terangnya.
“Kami juga berusaha menghubungkan produksi dalam negeri yang diserap BUMN pangan kepada Badan Gizi Nasional, ini bisa jadi alternatif pengadaan bagi Badan Gizi Nasional. Langkah ini diperlukan agar stok yang ada di BUMN pangan terhindar dari disposal. Perlu ada program hilirisasi sebagai strategi intervensi pengendali inflasi, seperti bantuan pangan dan program SPHP, itu harus tetap kita kerjakan,” tutup Kepala NFA Arief Prasetyo Adi.