Dalam rilis tentang inflasi yang diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (1/8/2024) menyebutkan bahwa terjadi penurunan pada inflasi komponen bergejolak (volatile food) secara tahunan. Inflasi volatile food di dominasi beras, cabai rawit, dan cabai merah per Juli 2024 menjadi 3,63 persen dari angka sebelumnya 5,96 persen. Secara tahunan, tingkat inflasi volatile food Juli 2024 jauh lebih baik dibandingkan pada Maret 2024 yang kala itu sempat berada di 10,33 persen.
Merespons itu, Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi mengatakan pergerakan inflasi volatile food memang menjadi perhatian instansi yang dipimpinnya. Dengan capaian pada Juli 2024 ini menunjukan tingkat inflasi pangan mengalami penurunan dan terkendali, karena masih dalam kisaran sasaran 2,5±1 persen.
“Inflasi volatile food yang terkendali menjadi tugas kami di Badan Pangan Nasional. Sesuai arahan Bapak Presiden Joko Widodo agar ekosistem pangan nasional itu dibangun secara sinergis mulai dari hulu sampai hilir, sehingga ini merupakan andil dan hasil gotong royong bersama-sama dengan semua stakeholder pangan yang ada selama ini. Mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lalu BUMN, BUMD sampai asosiasi,” terang Arief dalam keterangannya, Sabtu (3/8/2024).
“Volatile food di Juli secara tahunan di 3,63 persen mulai mendekati sasaran inflasi pemerintah di 2,5 persen plus minus 1 persen. Perlahan kita terus tekan dengan peningkatan pasokan dan program intervensi ke pasar. Apalagi di Maret lalu, volatile food cukup tinggi secara tahunan, namun cukup baik secara bulanan. Kita optimis seterusnya inflasi pangan ini dapat membaik,” imbuhnya.
Dilihat secara bulanan, inflasi komponen bergejolak masih mengalami deflasi. BPS mencatat di tingkat deflasi 1,92 persen dengan andil 0,32 persen. Komoditas pangan yang mendominasi antara lain bawang merah, cabai merah, tomat, daging ayam ras, bawang putih, dan telur ayam ras.
Tren deflasi yang berulang secara bulanan ini tidak serta merta menunjukan adanya depresiasi daya beli masyarakat. Menurut Arief, ia sepakat dengan Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti yang menyatakan kondisi deflasi bukan satu-satunya indikator daya beli masyarakat menurun. Terjadinya deflasi juga dapat terjadi karena pasokan yang cukup melimpah, namun permintaan masih tetap sama.
“Kita lihat misalnya pada pergerakan inflasi beras, itu sejak April mengalami deflasi sampai 2,72 persen. Lalu Mei juga deflasi 3,59 persen. Ini lebih disebabkan karena produksi pada bulan-bulan tersebut sedang tinggi-tingginya. Sementara permintaan masyarakat terhadap beras cenderung sama,” jelas Arief.
Terkait itu, menurut Kerangka Sampel Area BPS, puncak produksi beras terjadi di April 2024 sebesar 5,31 juta ton. Pada Mei 2024 proyeksi produksi beras di 3,61 juta ton dan turun pada Juni 2024 di 2,06 juta ton. Namun, pada Juli sampai September 2024 diproyeksikan mengalami kenaikan produksi yang masing-masing ada di angka 2,18 juta ton, kemudian 2,66 juta ton dan 2,96 juta ton.
“Di Juli, beras kembali mengalami inflasi. Untuk itu, memang sudah tepat langkah pemerintah menggelontorkan kembali bantuan pangan beras mulai awal Agustus ini. Bulog pun ada penugasan tambahan penyerapan beras produksi dalam negeri 600 ribu ton sampai akhir tahun, guna memperkuat program-program intervensi yang akan terus dilaksanakan,” kata Kepala NFA Arief Prasetyo Adi.
Pemerintah bersama Perum Bulog masih terus melaksanakan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras. Hingga akhir Juli, realisasi SPHP beras telah mencapai 922 ribu ton dengan saluran penjualan ke pengecer, distributor, pemerintah daerah, BUMN, dan lainnya.
Di samping itu, ada pula bantuan pangan penanganan stunting yang dikerjakan ID FOOD berupa berupa paket pangan daging ayam dan telur. Durasi penyelesaian program pun telah diperpanjang sampai Oktober. Realisasi per 29 Juli telah disalurkan paket pangan kepada 295 ribu penerima di wilayah Jawa Barat. Ini telah menyentuh 73,1 persen dari target salur di Jawa Barat yang sejumlah 403 ribu.
Program andalan pemerintah lainnya adalah Gerakan Pangan Murah (GPM). Jumlah GPM di tahun ini semakin mengalami eskalasi yang signifikan. Dari Januari sampai awal Agustus ini telah terlaksana 6.116 kali di 477 kabupaten/kota.
Capaian GPM di paruh pertama 2024 ini telah jauh melebihi capaian di tahun sebelumnya di 1.591 kali. Ini membuktikan komitmen serius pemerintah untuk terus menderaskan pasokan pangan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat luas melalui skema operasi pasar murah