Pemerintah Terus Lanjutkan Langkah Progresif dalam Menjaga Nilai Tukar Petani

Nilai Tukar Petani (NTP) menjadi salah satu indikator untuk mengukur kemampuan daya beli petani terhadap kebutuhan hidup sehari-harinya, patut untuk dijaga perkembangannya. Petani sebagai agen ekonomi memproduksi hasil pertanian juga sekaligus sebagai konsumen yang perlu memenuhi kebutuhannya.

Dengan itu, indeks NTP dihadirkan pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai pengukur kemampuan tukar produk pertanian yang dihasilkan petani dengan barang/jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluannya dalam memproduksi produk pertanian. Pemerintah dapat menggunakan NTP sebagai basis data pengambilan kebijakan yang relevan dengan kondisi riil di lapangan.

Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) turut mengambil peran dalam upaya pemerintah menjaga indeks NTP dari masa ke masa. “Bapak Presiden Joko Widodo itu kalau ketemu petani, pasti yang ditanya pertama kali adalah bagaimana kondisi harga. Memang kondusifitas harga tingkat petani berperan signifikan terhadap laju produksi. Jadi kalau di hulu sudah kondusif, tentu di tingkat selanjutnya sampai hilir, bisa turut kondusif,” kata Kepala NFA Arief Prasetyo Adi dalam keterangannya di Jakarta pada Jumat (16/8/2024).

Dalam rilis BPS terbaru, pada Juli 2024, indeks NTP kembali bertumbuh positif 0,84 poin menjadi 119,61 dari bulan sebelumnya yang 118,77. Jika dibandingkan bulan Juli pada tahun sebelumnya yang kala itu tercatat 110,64 turut memperlihatkan pertumbuhan yang konkret. Gapaian impresif ini semakin mendekati rekor indeks tertinggi NTP selama 2,5 tahun terakhir yang tercapai pada Februari 2024 di 120,97.

Sementara untuk NTP subsektor tanaman pangan (NTPP) di Juli 2024 tumbuh positif menjadi 108,32 dengan indeks harga yang diterima petani padi di 134,44. Dalam 2,5 tahun terakhir, indeks NTPP tertinggi tercatat di tahun ini dengan capaian 120,30 pada Februari 2024. Pemerintah pun berhasil jaga indeks NTPP terus stabil di atas 100 poin sejak Oktober 2022. Kala itu NTTP tercatat masih di 100,41.

“Sekarang tren NTP selalu di atas 100, berarti apa yang dikeluarkan oleh petani, itu terbayarkan. Kami di Badan Pangan Nasional selalu bantu jaga indeks NTP ini. Numbers can talk. Sekarang petani happy karena di atas 100 terus, sehingga pada semangat tanam. Jadi ini seiring pula dengan berbagai upaya teman-teman di Kementerian Pertanian yang di hulu terus menggenjot akselerasi produksi pangan Indonesia,” imbuh Arief.

Lebih lanjut, langkah yang ditempuh NFA dalam mendukung progresivitas NTP berupa memberikan kepastian harga di tingkat produsen/petani. Sejak awal 2024, NFA telah memproyeksikan perlu adanya kebijakan fleksibilitas Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Misalnya diberlakukan fleksibilitas HPP gabah dan beras kepada Perum Bulog mulai April 2024. Ini dilakukan untuk penyelenggaran penyerapan produksi dalam negeri dalam penguatan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) dalam bentuk beras.

Dengan itu, Bulog pun terus memacu pengadaan CPP beras yang bersumber produksi dalam negeri. Realisasi selama triwulan pertama 2024 kala itu total masih di angka 35 ribu ton. Selanjutnya realisasi semakin meningkat selama triwulan kedua 2024 menjadi total 692 ribu ton. Kemudian, total keseluruhan dari awal tahun sampai minggu pertama Agustus telah berada di angka 783 ribu ton.

Selain implementasi HPP gabah dan beras, NFA juga menerapkan fleksibilitas Harga Acuan Pembelian (HAP) tingkat produsen untuk jagung pipilan kering mulai April 2024. Ini penting dilakukan menimbang usulan dari kalangan petani jagung dikarenakan adanya perubahan struktur ongkos usaha. Sementara stabilitas jagung sendiri berkaitan erat dengan kestabilan pangan pokok lain, yakni daging dan telur ayam.

Bulog pun turut melakukan serapan produksi jagung dalam negeri dengan melaksanakan fleksibilitas HAP tersebut. Sekira sebulan setelah penerapan fleksibilitas HAP itu, pada akhir Mei 2024, realisasi pengadaan jagung dalam negeri mencapai 26,9 ribu ton. Realisasi terus meningkat di tengah Juli 2024 yang berada di angka 76,2 ribu ton dan sampai 9 Agustus secara akumulatif telah capai 83,6 ribu ton.

“Pemerintah selalu mengutamakan produksi panen hasil kerja keras dari sedulur petani. Hasil panen dalam negeri harus jadi tonggak pertama dalam upaya pemerintah memastikan ketercukupan stok pangan bagi masyarakat. Kita ingin petani sejahtera, pedagang untung, dan masyarakat yang mengkonsumsi pangan berkualitas hasil petani pun tersenyum,” tutup Kepala NFA Arief Prasetyo Adi.

Di ranah hilir, NFA bersama BUMN pangan terus menggulirkan program untuk menyasar masyarakat sebagai konsumen. Bantuan pangan beras tahap ketiga yang telah mulai salur sejak awal Agustus ini telah diterima oleh 14,3 juta keluarga atau 65,41 persen.

Sementara bantuan pangan penanganan stunting oleh ID FOOD telah berhasil disalurkan kepada 375 ribu keluarga di Jawa Barat dan Banten. Terakhir, penderasan beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga (SPHP) ke seluruh penjuru negeri, sebagai langkah pengendali harga beras di pasar, sampai tengah Agustus telah capai 982 ribu ton atau 81,88 persen dari target setahun 1,2 juta ton.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *