Upaya percepatan dalam penerapan standar inovasi secara berkelanjutan menjadi hal penting yang harus segera diwujudkan untuk mendukung ketahanan pangan dan mengatasi perubahan iklim. Hal ini menjadi isu pembahasan yang mengemuka dalam Diskusi Panel dengan mengangkat tema “Smart Farming for Sustainable Growth” yang digelar BRIN dalam rangkaian acara Bulan Mutu Nasional di Jakarta, Kamis (16/11/2023)
Kepala Badan Pangan Nasional/ National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi pada saat memberikan keynote speech dalam pembukaan diskusi tersebut mengungkapkan bahwa kolaborasi lintas sektor dapat memberikan kontribusi signifikan untuk mengatasi tantangan dalam sektor pertanian dan mencapai tujuan ketahanan pangan yang berdasarkan kemandirian dan kedaulatan pangan.
“Kami juga mendukung upaya Bapak/Ibu peneliti di BRIN dalam melaksanakan riset dan inovasi untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional,” tegasnya.
Saat ini, kata Arief tantangan di bidang pangan yang kita hadapi bersama adalah terkait Availability, Quality and Safety, Affordability, dan Sustainability (AQAS). “Untuk menghadapi hal tersebut, kita tidak hanya perlu mengintensifkan precision farming, tapi juga precision post harvesting terutama bertujuan untuk menurunkan loss sekitar 14% sehingga kita perlu tekhnologi untuk mengurangi kehilangan pasca panen,” ungkap Arief.
“Jadi jika Kementan sudah berproduksi dengan baik, suplay tinggi harga jatuh, disini ada peran Badan Pangan Nasional dan BUMN Pangan bersama private sektor untuk menjadi standby buyer yang disiapkan untuk menyerap hasil pertanian, harus customize based. Jadi apa yang kita tanam adalah apa yang dibutuhkan pasar. Dan ini butuh terobosan dari kita semua,” tegasnya.
Selain ketersediaan dari sisi produksi yang paling penting menurutnya adalah memperpanjang shelf live atau umur simpan produk pangan yang perishable. Untuk itu tekhnologi sangat dibutuhkan untuk mendukung hal tersebut, ungkapnya.
“Beberapa perlakuan seperti memperpanjang umur masa simpan merupakan hal mutlak yang saat ini harus dilakukan. Ini relate juga dengan cadangan pangan pemerintah (CPP), jadi teman teman peneliti dan riset di BRIN punya apa yang bisa memperpanjang umur simpan,” ungkapnya.
Ia mengakui jika upaya penguatan CPP sudah mulai dilakukan oleh NFA yang memiliki peran di hilir dan bertugas memastikan ketersediaan pangan, dengan stok level masing-masing komoditas ditargetkan bisa 5-10% dari kebutuhan atau market share nasional untuk dapat intervensi harga pasar. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo agar hilirisasi pangan terbangun secara sinergi dengan mengoptimalkan peran dan fungsi BUMN pangan sebagai offtaker hasil produksi petani dan peternak. “Bulog dan BUMN Pangan tentu harus menjadi soko guru dalam upaya stabilisasi selain private sector yang harus terus didorong,” tambahnya.
Sejalan dengan itu, untuk tantangan quality and safety, pendekatan klasifikasi, sortasi, dan uji keamanan pangan yang lebih cepat dan akurat, seperti penggunaan rapid test dan jaminan keamanan pangan segar asal tumbuhan dapat menjadi solusi yang baik.
“Tantangan aspek affordability dapat dilakukan oleh penguatan dukungan riset dari peneliti mengenai proyeksi harga pasar agar dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang tepat,” tegasnya.
Sementara itu, tantangan aspek sustainability dapat dihadapi dengan penguatan teknologi untuk menggantikan cara konvensional. “Tidak semua tanah memerlukan pupuk yang sama jadi soil test penting sebelum pemupukan agar pemakaian pupuk tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat sasaran, karena ini sangat menentukan,” ungkap Arief.
Badan Pangan Nasional telah menetapkan Harga Acuan Pemerintah (HAP) untuk melindungi harga di tingkat produsen dan konsumen karena ini langsung berdampak pada Nilai Tukar Petani yang meningkat.
“Dengan smart farming dan pengelolaan air, pupuk yang baik akan meningkatkan produksi dan harga acuan ini sangat penting sehingga nomor satu keberpihakan kita kepada petani peternak, kalau mereka sejahtera maka otomatis produktivitas akan meningkat,” jelasnya.
Hal senada disampaikan Kepala BRIN Laksono Tri Handoko bahwa untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan diperlukan sinergi kuat dalam meningkatkan produksi dan kualitas pangan yang berkesinambungan.
“Semakin besarnya dampak perubahan iklim yang dirasakan di tahun 2023 ini menuntut kita untuk lebih cermat dan smart dalam mengembangkan dan mengelola pertanian di tingkat produksi. Bagaimana memberdayakan petani menjadi lebih profesional dengan pola dan standar tertentu, ini hanya bisa terwujud dengan smart farming,” ungkap nya.
Dalam kesempatan ini, Florian Zirnstein, Chief Financial Officer PT Bayer Indonesia mengungkapkan bahwa Bayer turut mendukung komitmen mewujudkan ketahanan pangan dengan menjalin kemitraan berbagai pihak melalui program “Better Life Farming,” yang bertujuan memberikan akses kepada petani terhadap pasar, teknologi, dan pendanaan. Program ini juga berupaya membantu kelompok tani agar lebih maju dan mandiri.